JAKARTA,
Kemenkeu menyatakan bahwa realisasi pendapatan pajak sampai dengan bulan Februari 2025 mengalami penurunan bila dibandingkan dengan masa yang serupa pada tahun sebelumnya.
Penurunan penerimaan pajak tersebut berbarengan dengan peningkatan realisasi pendapatan negara sebanyak 20,85 persen menjadi Rp 316,9 triliun dibandingkan periode sebelumnya yaituRp 400,36 triliun.
Karena sumber utama pendapatan negara adalah penerimaan perpajakan yang mencakup pajak, tarif bea masuk, dan cukai. Meskipun demikian, dalam jangka waktu tersebut, ada peningkatan pada pengumpulan tarif bea masuk dan cukai.
“Kami telah menerima total pendapatan perpajakan sebesar Rp 240,4 triliun atau mencapai 9,7% dari target yang ditetapkan untuk tahun ini. Pendapatan pajak sendiri berjumlah Rp 187,8 triliun, setara dengan 8,4% dari tujuan awal kami. Selain itu, pendapatan dari bidang kepabeanan dan cukai senilai Rp 52,6 triliun juga berhasil melampaui harapan kami menjadi 17,5% dari sasaran,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memberikan keterangan pada acara APBN KiTa bulan Februari 2025, pada hari Kamis tanggal 13 Maret 2025.
Apabila diurai lebih lanjut, pendapatan pajak menurun 25% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu dari Rp 320,6 triliun menjadi Rp 240,4 triliun.
Pemasukan dari sistem perpajakan mencakup pendapatan pajak yang telah direalisasikan senilai Rp187,8 triliun.
Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 30,19% bila dibandingkan dengan periode serupa di tahun lalu yang mencapaiRp 269,02 triliun.
Selanjutnya, pencapaian pendapatan bea cukai mencapai Rp 52,6 triliun atau meningkat 2,13% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat senilai Rp 51,5 triliun.
Pendapatan negara bukan pajak (PNBP) telah terwujud dengan jumlah mencapai Rp 76,4 triliun dan ini menunjukkan kenaikan sebesar 14,48% dari target tahun sebelumnya yang berada di angka Rp 66,74 triliun.
Penyebab Pendapatan Negara Anjlok
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyatakan bahwa penurunan pendapatan dari sektor perpajakan dipicu oleh berbagai alasan.
Pertama, sejak awal tahun ini, beberapa komoditas penting mengalami penurunan nilai dengan batubara merosot 11,8%, harga minyak Brent berkurang 5,2%, serta nikel jatuh 5,9%.
Kedua, aturan Tarif Efektif Rata-rata (TER) dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 menyebabkan pendapatan pajak menurun. Kebijakan tersebut mengakibatkan overpaid sekitar Rp 16,5 triliun pada tahun 2024, dengan jumlah yang berlebih itu dipulangkan pada bulan Januari dan Februari 2025.
Ketiga, kebijakan mengenai penangguangan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) untuk transaksi pada bulan Januari yang dapat dikirimkan sampai tanggal 10 Maret 2025.
“Maka itu menggarisbawahi bahwa pola untuk bulan Februari 2025 cukup berlainan dibanding periode sebelumnya. Meski begitu, jika Anda periksa serta kami kaji lebih lanjut tentang pendapatan pajak ini bersama Indeks Manajer Pembelian (PMI) Industri dan juga melihat informasi ekonomi lain seperti peningkatan penjualan otomotif secara positif. Dengan demikian hal tersebut mencerminkan bagaimana pertumbuhan pajak sesuai dengan keadaan perekonomian,” papar Anggito.





