Polisi menahan bekas Presiden Filipina, Rodrigo Roa Duterte, pada hari Selasa (11/3/2025), segera setelah dia turun di Bandar Udara Internasional Ninoy Aquino, Manila, Filipina.
Polisi Filipina telah menahan Duterte setelah mendapatkan surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Tindakan penahanan terhadap Duterte disebabkan oleh tuduhan pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan yang melibatkan pembunuhan. Ini berkaitan erat dengan taktik represif yang digunakan selama operasi anti-narkotika di negara tersebut.
Harus disebutkan bahwa ICC atau Pengadilan Kriminal Internasional merupakan institusi yang bertempat di The Hague, Belanda, dengan tugas untuk menyelidiki serta menuntut orang-orang karena pelaku kejahatan perang, kekejaman terhadap manusia, genosida, dan serangan agresif terhadap wilayah negara-negara anggota mereka, jumlahnya mencapai 125 negeri.
Tindakan tegas Duterte dalam memerangi obat-obatan terlarang diklaim sudah mengakibatkan kematian puluhan ribu orang, biasanya dilakukan tanpa adanya bukti kuat bahwa para korban memiliki hubungan dengan penyalahgunaan narkoba.
Terlepas dari itu, dalam suatu wawancara khusus dengan
GMA Integrated News
(11/3/2025), Duterte menyebut bahwa dia sudah mengetahui tentang berita penangkapannya sejak Hari Minggu (9/3/2025). Dia bersiap untuk menghadapi surat perintah penahanan yang diyakini berasal dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), berkaitan dengan konflik kontroversialnya melawan obat-obatan terlarang.
Dia juga menyatakan bahwa akan menghadapi penangkapan ini dengan tenang sebagai seorang pengacara dan tidak berpikir untuk kabur ke negeri lain.
“Direktur saya akan berperan sebagai pengacara,” ujar Duterte.
Presiden mantan Filipina yang sudah mencapai usia 79 tahun itu pun mengungkapkan bahwa dia tak merasa penyesalan atas tindakan-tindakannya saat memimpin sebagai presiden Filipina. Menurut Duterte, segala keputusan dan kebijakannya semasa jabatan dilaksanakan demi melindungi stabilitas negeri tersebut.
Berdasarkan
catatan
Kepolisian melaporkan bahwa angka kematian akibat kebijakan keras Duterte terhadap peredaran obat-obatan terlarang telah mencapai sekitar 6.000 jiwa. Namun, organisasi pemantau hak asasi manusia menyatakan bahwa total korban meninggal dapat menembus angka 30.000 orang, termasuk mereka yang menjadi korban pembantaian oleh pihak berwenang maupun warga masyarakat yang mengambil hukum ke tangan sendiri.
Duduk Perkara Kasus Duterte
Perang melawan obat-obatan terlarang menjadi slogan utama Duterte saat pemilihan dan ternyata sangat efektif dalam membawanya menuju posisi sebagai Presiden Filipina ke-16. Duterte telah memenuhi komitmennya ini. Setelah dilantik pada tanggal 30 Juni 2016, tepatnya mulai dari tanggal 1 Juli di tahun tersebut, dia langsung mendeploy pihak berwenang polisi untuk menyergap tempat penjualan obat terlarang serta menahan konsumen dengan tindakan keras tanpa ampun.
“Acuhkan aturan mengenai hak asasi manusia. Bila saya tiba di kediaman resmi presiden, saya akan bertindak sebagaimana ketika menjabat sebagai walikota. Para penjual obat terlarang, pencuri, serta mereka-mereka yang dinilai tak bermanfaat, semestinya pilihlah untuk meninggalkan tempat ini. Sebab, saya berniat untuk melumpuhkan Anda semua,” ujar Duterte sewaktu berada dalam tahap kampanye pada tahun 2016 silam, demikian dilansir oleh Reuters.
Menurut laporan Reuters, selama ia menjadi presiden, Perang Terhadap Narkoba di Filipina mengakibatkan setidaknya 6.284 orang meninggal dunia. Angka ini berdasarkan tuduhan mereka sebagai pedagang atau pemakai narkoba sesuai dengan catatan resmi pemerintahan. Sementara itu, ICC menduga bahwa angkanya bisa mencapai antara 12.000 sampai 30.000 jiwa dalam rentang waktu dari bulan Juli tahun 2016 hingga Maret tahun 2019.
Pemeriksaan ICC atas Duterte sudah berlangsung cukup lama sejak 2016, yakni ketika bekas Wali Kota Davao ini baru memulai masa jabatan presidennya di Filipina. Seorang jaksa penuntut dari ICC pada waktu itu mencermati bahwa jumlah pembunuhan yang dilancarkan Duterte dengan alasan “perang terhadap obat-obatan terlarang” semakin naik.
Pada tahun 2017, seorang mantan militan yang bernama Edgar Matobato mengungkapkan
pengakuan
bahwa Duterte pernah menginstruksikan ribuan tindakan pembunuhan dilakukan di luar ranah hukum dan bahkan dengan sengaja menewaskan seorang pria sendiri.
Satu tahun kemudian, jaksa penuntut ICC menyampaikan bahwa mereka sudah memulai penyelidikan awal berdasarkan keluhan yang ditujukan kepada Duterte. Akan tetapi, pada tahun 2019, Duterte mengundurkan diri Filipina dari anggota ICC.
Pada September 2021, ICC memberi persetujuan untuk melaksanakan penyelidikan formal tentang dugaan pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan yang mungkin telah terjadi selama pemerintahan Duterte. Namun, pada bulan November 2021, mereka memutuskan untuk menunda investigasi ini setelah mendapatkan permohonan dari Manila. Kota itu menyatakan bahwa mereka sendiri tengah menjalankan proses penyelidikan.
Ferdinand Marcos Jr., presiden Filipina yang baru saja terpilih sebagai pengganti Duterte, menegaskan bahwa negara tersebut masih belum berminat untuk menjadi bagian dari ICC. Pihak pemerintahan pun bersiap membentuk satuan investigasi tersendiri guna menangani perkara ini. Politisnya, Marcos telah mendirikan koalisi dengan Duterte.
Bongbong, yang merupakan panggilan untuk Marcos, sempat mengajukan putri dari Duterte, yaitu Sara Duterte, sebagai calon wakil presiden. Keduanya berhasil dipilih sebagai presiden dan wakil presiden Filipina mulai tahun 2022. Namun, seiring perkembangan situasi, hubungan aliansi di antara Bongbong dan Duterte perlahan retak akibat ketidaksesuaian pandangannya dengan Sara.
Ini diyakini berdampak pada pendapat Bongbong tentang pemeriksaan ICC terkait Duterte. Walaupun dia tidak menarik Filipina keluar dari ICC lagi, tanggapanannya menjadi lebih fleksibel dengan mengizinkan investigasi tersebut dilakukan di negerinya sendiri.
Pada tanggal 7 Maret 2025, Surat Perintah Penangkapan untuk Duterte dikeluarkan oleh ICC karena diduga melakukannya pembunuhan yang dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam naskah yang berputar, sebagaimana diambil darinya
Reuters
Para hakim percaya bahwa terdapat cukup bukti untuk menentukan bahwa mantan presiden tersebut menjadi pemimpin dari Davao Death Squad (DDS) dan turut mengawasi pelaksanaan hukum di Filipina saat menjabat.
Surat itu mengatakan bahwa sejumlah kelompok melakukan serangan besar-besanan dan berencana menargetkan warga sipil di Filipina, terutama mereka yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan, khususnya yang disangka terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang.
Perintahan dalam surat juga menunjukkan bahwa serangan itu terjadi selama bertahun-tahun dengan ribuan jiwa menjadi korban. Hakim-hakim menyebutkan bahwa tindakan penghilangan nyawa ini mempunyai pola yang mirip, seperti tempat kejadian, cara melakukan pembunuhan, serta karakteristik dari para korbannya dan pelakunya.
Para hakim berpendapat bahwa terdapat dasar yang cukup untuk menegaskan bahwa Duterte mungkin bertanggung jawab secara hukum atas setidaknya 19 kasus pembunuhan yang dilakukan oleh DDS di Davao, dengan tuduhan korban sebagai penjual obat-obatan terlarang atau perampok.
Setidaknya 24 individu lainnya yang dicurigai melakukan tindak kriminal dinyatakan telah ditewaskan baik langsung maupun tidak dalam kurungan penegak hukum Filipina. Hakim-hakim meyakini bahwa Duterte memiliki peran penting dalam hal ini karena dia memimpin seluruh operasi untuk mendeteksi target pelaku, mengontrol DDS, serta memberikan perlengkapan senjata beserta ammunisinya kepada pihak-pihak terlibat.
Duterte diklaim pula sudah mengusulkan berbagai bonus finansial dan penghargaan kepada anggota polisi beserta pembunuh bayaran agar mereka bisa membunuh orang yang dicurigai. Dia pun dituding mempromosikan imunitas hukum bagi pelakunya sambil menyembunyikannya dari investigasi dan persidangan.
Hakim pun mengatakan bahwa walaupun Filipina telah secara resmi keluar dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di tahun 2019, tindakan kriminal yang disebutkan dalam dokumen tersebut terjadi saat Manila masih menjadi bagian dari organisasi itu, oleh karena itu pengadilan berhak untuk menjalankan proses hukumnya.
Duterte akan ikut gabung bersama eks presiden Kosovo, Hashim Thaci, yang saat ini masih menanti proses persidangan atas dugaan tindak pidana perangnya. Selain itu ada juga Ratko Mladic, seorang tokoh Bosniak Serbia yang sudah divonis karena pelaku pembantaian massal di Bosnia. Beberapa narapidana lainnya meliputi para kepala pasukan militer dari negara-negara seperti Sudan, Mali, dan Republik Afrika Tengah.
Selain kasus yang berhubungan dengan perang melawan obat-obatan terlarang di Filipina,
CNN
Melaporkan, penangkapan tersebut mungkin lebih disebabkan oleh persaingan antara dua keluarga terpandang di Filipina dibandingkan dengan kekuatan ICC, organisasi yang tidak bisa menangkap tersangka secara mandiri dan mengharuskan mereka bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk melaksanakan penetapan. Meski demikian, detensi dan ekstradisi Duterte merupakan prestasi besar bagi institusi ini.
Pelajaran Apa Yang Dapat Dipetik Oleh Indonesia?
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Herlambang Perdana Wiratraman, menyatakan bahwa penahanan Duterte oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) adalah bagian dari konsep jurisdiksi universal yang dipegang oleh ICC.
Herlambang menyatakan bahwa konsep universal jurisdiction ini berkaitan dengan wewenang Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Awalnya, hal itu diterapkan untuk negara-negara yang sudah mengakui dan menjadi anggota atau ‘state parties’ dari Perjanjian Statut Badan Hakim Pidana Internasional atau Mahkamah Pidana Internasional.
“Pada kasus Filipina, memang mereka sudah meratifikasi dan mengakui eksistensi Perjanjian Roma tersebut. Namun, mereka menarik kembali pengesahannya pada Maret 2018, yang baru akan efektif satu tahun kemudian,” jelasnya ketika diwawancara oleh Tirto, Rabu (12/3/2025).
Dia menyatakan bahwa walaupun Filipina sudah keluar dari ICC pada tahun 2018, tetapi otoritas ICC mencakup saat kejadian tersebut masih di bawah kendali mereka, yaitu pembunuhan ekstrajudis yang terjadi selama masa kepemimpinan Duterte, mulai tahun 2011 hingga 2019.
“Oleh karena itu, ICC tetap memiliki wewenang tersebut untuk melakukan penyelidikan, kemudian mengolah dan saat ini meneruskannya sebagai kasus ke ICC,” katanya.
Kedua, otoritas ICC terkait dengan yurisdiksinya saat dimintai pendapat oleh PBB, lebih spesifik lagi oleh UNSC, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, lewat sebuah resolusi sesuai pasal 7 dalam anggaran dasar PBB. Anggaran dasar tersebut memberikan izin bagi PBB untuk merujuk pada ICC via penuntut atau hakim-nya guna menyelidiki dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan serta genosida, atau masalah-masalah lain yang termasuk dalam wewenang ICC.
“Jadi otoritasnya di ICC sebenarnya ada dua pilihan, pertama jika dia adalah sebuah negara bagian atau kedua, mungkin juga disebabkan oleh permintaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa mengingat pasal 7 atau bab ketujuh tersebut,” terangnya.
Selanjutnya, apa kesimpulan yang dapat ditarik oleh Indonesia dari razia tersebut? Bisakah pengadilan ICC mengambil tindakan serupa untuk menangkap contohnya para dalang pembuat kejahatan atau pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia?
Herlambang, yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial UGM, menjelaskan, Indonesia sendiri belum meratifikasi statuta Roma. Ia menjelaskan, rencana ratifikasi ICC sudah berulang kali diwacanakan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang termaktub dalam rencana aksi Hak Asasi Manusia, namun hingga kini belum terlaksana.
“Sejak masa kepemimpinan Jokowi sampai Prabowo yang berlangsung saat ini, tak ada pembicaraan mengenai Statuta Roma. Oleh karena itu, sulit untuk mempercayainya ketika mereka memiliki komitmen terhadap HAM,” katanya.
Sejatinya, Indonesia sudah mempunyai UU No. 26 tahun 2000 mengenai Mahkamah HAM yang diwajibkan oleh UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
Aturan dasar ini menetapkan bahwa untuk mencapai persidangan HAM, perlu adanya investigasi pro-justitia yang dijalankan oleh Komnas HAM. Setelah itu, hasilnya akan diteruskan kepada Kejaksaan Agung serta Mahkamah Agung guna mendirikan pengadilan spesial HAM.
Di sini, ICC tidak dapat campur tangan dalam mengurus perkara pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Ini karena ICC bersifat komplementer. Dengan kata lain, jika terdapat proses di level nasional, pengelolaannya akan dituntaskan sesuai dengan undang-undang lokal.
“ICC tidak akan terlibat jika telah dilakukan upaya melalui sistem peradilan nasional,” katanya.
Akan tetapi, terdapat situasi tertentu di mana ICC akan ikut serta mengatasi permasalahan tersebut. Yaitu, apabila ditemukan bahwa sistem peradilan domestik suatu negeri dinilai lemah atau kurang berkomitment dalam penanganan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Walaupun Indonesia tidak termasuk sebagai salah satu pihak, ICC tetap dapat mengambil tindakan dengan cara ini: apabila organisasi itu dipanggil oleh Perserikatan Bangsa-Banga, terutama Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui resolusi yang didasari pada pasal 7 dari anggaran dasar PBB guna menyelesaikan masalah di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, Herlambang mengatakan bahwa kemungkinan pelaksanaan hukum internasional untuk hak asasi manusia cukup besar, termasuk juga di Indonesia.
“Artinya tak ada ruang aman untuk penjahat yang tidak dapat dibenarkan di dunia ini. Pokok utamanya adalah itu. Oleh karena itu, tanpa memandang siapa pelaku kejahatan tersebut, bahkan jika dia menjadi presiden atau pejabat tertinggi, prinsip universal jurisdiction tetap akan berlaku,” tegasnya.
