Lentera Ramadhan: Menyuluh Cahaya dalam Bulan Suci

Suatu malam pada tanggal lima belas Ramadan dalam tahun ketiga ratus delapan puluh Hijriyah, warga Kairo menyiapkan diri untuk menyambut kehadiran Khalifah Al-Mu’izz Lidinillah, sang penguasa dari Kekhalifahan Fatimiyyah yang bakal masuk ke kota tersebut. Sebelum kemunculannya, para penduduk sudah mendapat pengumuman bahwa mereka harus merayakannya dengan upacara sambutan yang luar biasa.

Untuk menunjukkan rasa hormat dan keceriaan, mereka diajak membawa obor dan lilin demi menerangi jalannya. Pada saat senja, warga pun mulai berdatangan di tepi jalan Taht el-Rab yang nantinya dilewati sang khalifah.

Keropengan lilin dipletakkan pada dasar kayu dan kemudiannya dilindungi dengan tapal tangan supaya terelak daripada tiupan angin. Begitulah juga api pelita yang diketepikan kuat dalam genggaman orang ramai. Ia menerangi kesemua arah, menghasilkan pemandangan yang bertabur sihir. Laluan-laluan yang lazimnya kelam kini disinar habisan oleh beribu-ribu kilauan ringkas ini, seperti jika bintang telah jatuh ke atas dunia.

Kehidupan mulai ramai beranjak saat ada laporan bahwa si penguasa besar sudah dekat dengan kota tersebut. Dia mengendarai kuda dari pintu masuk utama, Bab Zuweila, tempat itu melewati sejumlah pemukiman dan markas polisi di Cairo.

Warga berkumpul dengan riang, memegang teguh obor-obor mereka ke langit sebagai bentuk penghargaan ketika khalifah datang. Kaum muda bergabung dalam permainan yang enerjik, sedangkan kaum tua bercokol di tepi jalanan, bernyanyi lagu puji-pujian serta mantra kepada sang pemimpin.

Api dan cahaya tersebut selanjutnya berubah menjadi lentera yang populer disebut sebagai

fanus

dalam Bahasa Arab tunggal, sementara bentuk jamaknya adalah

fawanis

.

Salah satu lentera tersebut dipakai selama bulan Ramadhan dengan nama Fanus Ramadhan atau Lentera Ramadhan. Selain sebagai sumber cahaya, ia juga melambangkan kegembiraan, persatuan, serta antusiasme dalam menyongsong bulan yang diberkati itu.

Di jalan-jalan, para

mesaharati–

Orang atau grup yang berkeliaran untuk membangunkan orang lain saat sahur — biasanya membawa lentera. Tradisi tersebut masih dijaga hingga sekarang dalam wujud unik serta penerangan indahnya.

Di masa pemerintahan Khalifah Al-Hakim Bi Amrillah pada abad ke-10 Masehi, beliau mengeluarkan peraturan yang melarang wanita meninggalkan rumahnya. Namun selama bulan puasa Ramadhan, larangan tersebut tidak berlaku sehingga para wanita diperbolehkan shalat di luar ruangan dan juga bisa mampir ke rumah orang lain atau kerabat setelah fajar terbit.

Lentera Fanus memudahkan mereka dalam mencari jalan sambil melindungi wanita dari kehampaan. Ini membuat fanus tidak sekadar menjadi objek hiasan, namun juga memiliki peran sosial yang signifikan.

Fanus Ramadhan telah menjadi simbol yang tidak bisa diganti-ganti di kota-kota seperti Kairo, Damaskus, Aleppo, Yerusalem, Gaza, serta wilayah Arab lainnya. Sejalan dengan perkembangan zaman, desain fanus semakin maju; mulai dari bentuk awal yang menggunakan lilin atau minyak beserta sumbunya, hingga evolusi ke versi modern yang dilengkapi lampu dan speaker berkedip-berkedip. Ada pula beberapa fanus yang dirancang dalam rupa karakter pop culture dan didekorasi dengan foto-foto selebritas olahraga dan artis ternama.


Tradisi Kuno yang Bersinar

Cahaya bertindak sebagai ikon global yang ada di banyak budaya serta ritual dari pelosok bumi. Ini menggambarkan optimisme, sukacita, dan kemenangan terhadap ketidakhadiran cahaya.

Di China, terang menjadi fokus utama dalam merayakan Tahun Baru Imlek lewat sejumlah festival yang diselenggarakan saat bulan purnama pertama menurut kalender lunar. Lampion-lampion dipenuhi dengan tulisan atau ilustrasi yang membawa pesan baik, misalnya tentang kelimpahan, kesegaran, serta kedamaian hidup.

Dalam kepercayaan Kristen, cahaya membawa arti rohani yang mendalam, khususnya saat merayakan Natal dan Paskah. Menurut catatan seorang sejarawan dari masa Kerajaan Mamluk bernama Taqi al-Maqrizi, hal ini diketengahkan


Al-Mawa’iz wa Al-I’tibar Melalui Perenungan tentang Zikir Kehidupan dan Jejak Sejarah


(1913), merayakan Natal di kalangan Kristen Koptik di Mesir mencakup pencahayaan dengan lampion untuk beberapa minggu berturut-turut. Begitu juga dalam tradisi Yahudi, sinar lilin merupakan bagian integral dari upacara Hanukkah yang berlangsung selama delapan malam.

Fanus atau lentera tradisional yang ada dalam budaya Arab, berdasarkan sumber lain, mempunyai riwayat yang cukup panjang. Beberapa pakar mengatakan bahwa fanus muncul sebagai evolusi dari obor yang dipakai selama perayaan Firaun di Mesir Kuno.

Pesta ini menyambut kembalinya bintang Sirius yang dipandang sebagai tanda pembuka dari banjir tahunan sungai Nil, yang merupakan aset utama bagi peradaban Mesir. Nantinya obor yang dinyalakan pada acara tersebut berkembang menjadi lentera portable.

Istilah “fanus” ternyata muncul pula di dalam kosakata Yunani Demotik, yakni “phanos”, dengan makna lentera lebah. Walaupun sudah melebur sebagai elemen dari bahasa Arab kontemporer, akarnya menggambarkan adanya interaksi budaya antara dunia Yunani dan Arab di zaman dahulu.

Kini fanus banyak ditemui saat memperingati Ramadhan dan Idulfitri. Biasanya anak-anak akan menghayatinya dengan bernyanyi “Wahawy Ya Wahay” bersama-sama sambil membawa lentera. Lagu itu sebenarnya sebagai bentuk penghargaan pada bulan sabit yang berhubungan erat dengan Ramadhan.


Ragam Lentera Ramadhan

Desainnya yang menarik, dengan kaca bervariasi warnanya serta hiasan-hiasan cantik, menjadikan Lentera Fanus sering tampil dalam kreasi seni, penataan ruangan, dan elemen-elemen khusus Ramadan. Di sejumlah daerah, lentera tersebut umumnya mempercantik teras rumah, mesjid, bahkan mal-mal pada saat bulan suci puasa. Tak jarang juga kita temukan lentera ini dipajang di atas pohon seperti halnya kerlap-kerlip Natal.

Bukan hanya itu saja, Fanus Ramadhan pun menginspirasi para seniman dan perancang. Karyanya seringkali direproduksi dalam beragam format, mulai dari lukisan, produk kerajinan buatan, hingga rancangan grafis.

Barusan, sebuah kawasan pembuat lampion masih berdiri kokoh di sepanjang Jalan Taht el-Rab, rute yang dilewati oleh Khalifah Al-Mu’izz Lidinillah. Tempat ini menjadi tempat dimana para pedagang menciptakan, menyimpan, serta menampilkan lampion-lampion tersebut.

fawanis

dengan aneka desain menarik.

“Seiring masa pemerintahan Mamluk dan Ottoman, pedagang-pedagang serta kalangan kaya memilih untuk bermukim di istana dan vila, sedangkan mereka yang kurang mampu justru menghuni daerah Taht el-Rab. Hal ini mirip dengan sebuah sekolah dimana beberapa kelas harus bergantian menggunakan satu fasilitas kamar mandi,” ungkap Gamal Abdel Rahim, seorang Professor Ilmu Arkeologi dan Seni Islam dari Universitas Kairo, demikian dilaporkan.


Egyptian Mail


.

Biasanya Lampu Topi dibuat dari timah, tembaga, kaleng, atau kaca, namun semenjak adanya peningkatan impor produk dari Cina, lampu ini bisa dilengkapi dengan fitur musik serta menggunakan daya baterai. Sebagian besar pedagang sering kali mengungkapkan ketidakpuasan tentang perihal itu.

“Setiap benda yang kita pakai untuk menghasilkanصند

fanus

“termasuk produk [impor], mulai dari A hingga Z,” jelas Mohammad Fawzi, seorang pembuat lentera yang menjalankan usaha bersama dengan ayahnya dan dua kakak beradiknya, dalam wawancara tersebut.


alarabiya


.

Mereka akan mempersiapkan lampion dari jauh-jauh hari sebelum Ramadhan tiba. Sebagaimana ditulis oleh al-Maqrizi, dalam wilayah Fathimiyah Kairo, khalifah tersebut biasanya akan merangkul paling tidak lima ratus pembuat lampion pada saat mendekati bulan suci Ramadhan.

“Saya mencoba sekreatif mungkin agar tiap lampu buatan saya terlihat istimewa. Saya tak menginginkan pembeli berkunjung ke gerai lalu menjumpai benda-benda serupa ditampilkan. Saya bertujuan menyuguhkan kepada konsumen hasil kerja dengan karakteristik tersendiri namun tetap menonjolkan nuansa Ramadan khas Mesir,” ungkapnya.

Abeer Antar

, pembuat kerajinan lainnya di Pasar Kairo yang menghasilkan lentera dari tanah liat.

Mengenai harga, Lentera Fanus yang berasal dari Mesir biasanya dijual dalam rentang harga sekitar $10 sampai $20, sementara itu versi buatan Tiongkok cenderung memiliki harga yang lebih rendah daripada itu.

Walaupun era sudah berganti, Lentera Fanus masih menaruh daya tariknya melalui ragam versi baik itu tradisional ataupun kontemporer. Salah satunya adalah Lentera “Parlemen” yang merupakan salah satu yang terdahulu dan mendapat nama tersebut lantaran bentuknya mirip bangunan Parlemen Mesir. Di sisi lain, Lampu “Farouk” diciptakan sesuai keinginan Raja Farouk pada perayaan ulang tahunnya.

Lalu ada

nama-nama lentera lain

, seperti Abu Hashwa, Abu Sharaf, dan Abu al-Wlad. Atau tipe tenda baja dan kain tertentu yang dikenal sebagai hasil kerajinan “khayamiya” yang populer di Distrik Alexandria. Buah dari usaha ini adalah pembuatan lampion dalam beragam desain termasuk gaya Aladdin.

knafeh

, gerobak kacang, bulan sabit, hingga meriam.

Related posts