Allah Lebih Menyukai Hamba yang Rendah Hati: Hindari Pusat Perhatian

Seperti senter yang kita bawa di hutan, kejujuran bercahaya dalam kediaman. Ia tidak membutuhkan panggung, hanya cukup dengan keyakinan dalam hati serta Allah yang menyaksikan.

Dalam banyak grup WhatsApp, kerap kali kita menemukan individu yang menyebarkan hampir semua rutinitas harian mereka. Dari acara bersama keluarga, hobinya, sampai petualangan liburan dan makanannya. Mungkin saja, tujuannya adalah untuk meriahkan atmosfer dalam grup atau sekadar berbagi rasa senang kepada sesama anggota.

Untuk orang yang selalu optimis, hal tersebut mungkin tidak menjadi persoalan. Akan tetapi, beberapa individu dengan sudut pandang yang berlainan dapat merasakan dampaknya secara berbeda—terutama ketika kontennya berkaitan dengan praktik spiritual atau ibadah.

Pada masa dimana orang-orang banyak mencari penerimaan dan apresiasi, suatu nilai mulia seringkali luput dari perhatian: kejujuran serta kesederhanaan dalam ibadah. Agama Islam menekankan bahwa apa yang menjadi penilaian Tuhan tidak bergantung pada seberapa dikenalnya seseorang di masyarakat, tetapi bagaimana dia secara ikhlas dan bertawakkal menyembah-Nya. Nabi Muhammad SAW telah berkata:

“Sejatinya Allah menyayangi hambanya yang bertaqwa, memiliki hati yang kaya, dan bersifat tersembunyi (tiada niat untuk dikenali).” (HR Muslim)

Hadis ini menyimpan makna yang mendalam yang seharusnya dipikirkan secara serius. Bagaimana Allah sangat mencintai hambanya yang tak terlalu peduli untuk dicari perhatiannya, tetapi justru lebih tertarik pada ikatan batin mereka dengannya. Pada artikel kali ini, kami akan menganalisis inti dari hadis tersebut, pentingnya bagi konteks saat ini, serta cara mempraktikkannya dalam kehidupan harian kita.

Ketakwaan sebagai Fondasi Hidup

Dalam agama Islam, ketakwaaan merupakan esensi dari kehidupan seseorang yang beragama Islam. Ketakwaan ini mengandung makna lebih jauh daripada sekedar rasa takut pada Tuhan Yang Maha Esa; ia merangkum pemahaman bahwa setiap tindakan dan perilaku kita dicatat dengan teliti oleh-Nya. Orang yang bertaqwa cenderung tidak mudah goyah oleh godaan kemewahan dunia, namun mereka lebih condong untuk menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah disediakan oleh Sang Pencipta.


Seseorang yang berbakti tak perlu meminta penghargaan dari manusia karena dia menyadari bahwa apresiasi paling tinggi berasal dari Allah. Oleh karenanya, Allah lebih sayang pada hamba-Nya yang diam-diam – karena mereka mengekalkan keberanian mereka tanpa harus diketahui oleh orang lain.

(Note: There seems to be a slight misinterpretation of “bertakwa” as “berbakti”, and “ketakwaan” as “keberanian”. The intended meanings might have been different based on the original intent.)

Keberkahan Jiwa: Asal Kebebasan Sesungguhnya

Pada hadits tersebut, Rasulullah mengatakan pula bahwa Allah mencintai hamba-hambaNya yang disebut sebagai ghaniyyul qalb — kaya hati. Keadaan ini merujuk kepada rasa puas secara spiritual tanpa harus bergantung pada aspek material ataupun tingkat sosialnya. Seseorang yang dikatakan memiliki jiwa kaya tak akan cemburu terhadap prestasi oranglain dan enggan memperbandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Keberkahan jiwa pun membuat orang senantiasa merasakan syukur serta tetap tenang saat memandangi hidup. Di lain pihak, individu yang terus-menerus mencari popularitas dan apresiasi dari masyarakat umum cenderung mengalami kegagalan, karena puja-pujian dari sesama bersifat tidak tahan lama dan bisa jadi palsu.

Kesempurnaan dari Kehidupan Sebagai Hamba yang Terselubung

Pada zaman serba digital saat ini, banyak individu bersaing ketat untuk mendapatkan perhatian melalui platform-media sosial. Popularitas telah menjelma sebagai sasaran utama, serta keberadaan ditentukan oleh jumlah follower dan like. Akan tetapi, Rasulullah malahan mengajarkan bahwa Tuhan lebih menyayangi hambanya yang rendah hati—mereka-mereka yang melakukan ibadah tanpa niat pamer atau mencari pengakuan, serta berbakti kepada sesamanya secara tulus tanpa harapan akan apresiasi.

Para ahli agama masa lalu seperti Imam Al-Ghazali dan Imam An-Nawawi merupakan teladan sejati bagi orang-orang yang tak mengejar kesuksesan dunia, namun Allah meninggikan kedudukan mereka akibat ikhlas serta pengetahuan mereka. Mereka bekerja keras untuk memelihara maksud tindakan mereka supaya terhindar dari sikap pamer atau ingin dikenal banyak orang.

Bagaimana Kita Bisa Mengamalkannya?

• Konsentrasi pada niat yang tulus. Setiap perbuatan ibadah sebaiknya dijalankan hanya untuk Tuhan, tanpa mengharap pengakuan dari orang lain. Seperti disebutkan dalam Al-Quran:

“Sebenarnya Kami menyediakan makanan untukmu hanya dengan harapan mendapat ridho Allah, Kami tidak meminta imbalan atau ucapan syukur darimu.” (QS Al-Insan: 9)

Seorang bijak pernah berkata, “Ketulusan tidak memerlukan panggung, cukup dengan keyakinan dalam hati serta Allah Yang Melihat.”

* Hindarilah perbuatan riya’. Riya’ merupakan suatu penyakit dalam hati yang bisa menjadikan ibadah menjadi sia-sia. Karenanya, sangatlah krusial bagi kita untuk terus menerapkan refleksi diri dan menyempurnakan niat.

* Melakukan kebajikan dengan tenang. Perbuatan baik yang dilakukan tanpa pengakuan publik memiliki nilai tersendiri di hadapan Tuhan. Sama seperti cerita tentang para wali Allah yang cenderung beribadah dalam ketenangan jauh dari perhatian orang banyak.

* Melindungi diri dari kecemburuan yang berlebihan terhadap kasih sayang di dunia ini. Menghabiskan waktu hanya untuk mencari pengakuan duniawi dapat menghalangi kita dari misi utama, yakni mendapatkan ridha Allah.

Secara keseluruhan, Tuhan tak memandang betapa ternama kita di dunia, namun sejauh mana niat kita murni saat menyembahnya. Hamba-hamba yang bertaqwa, memiliki jiwa lapang, serta tidak menginginkan popularitas merupakan hamba-hamba yang amat disayangi oleh Tuhan. Di zaman serba digital seperti sekarang, marilah kita renungi lagi makna-maknanya tersebut dan usahakanlah untuk jadi individu yang lebih ikhlas, sederhana, serta berorientasi ke arah akherat.

Kesungguhan sejati berkembang dalam ketenangan, bukannya di bawah pengawasan publik. Allah menyayangi hambanya yang bertindak tanpa terobsesi dengan pujian, penghargaan, atau perhatian orang lain.

Semoga Allah mentradikasi kami sebagai hamba-hamba yang disayangi-Nya, tidak karena terkenal, melainkan karena ketaatan serta kesungguhan hati kami dalam bermu’amalah. Amin.

Related posts