Tragedi Ciputat: Balita 4 Tahun Tewas, Tangisan Pilu Terdengar Tetangga

Tragedi Ciputat: Balita 4 Tahun Tewas, Tangisan Pilu Terdengar Tetangga

BANTENMEDIA – Suara tangisan anak kecil sering terdengar dari balik dinding rumah kontrakan di wilayah Ciputat, Tangerang Selatan.

Read More

Namun, setiap kali tetangga mencurigai, jawaban yang selalu diterima adalah: ‘tidak masalah, bibi, menangis itu wajar’.

Tidak ada yang menduga, air mata itu merupakan teriakan sedih dari seorang balita dengan inisial MA (4) yang menahan rasa sakit.

Sayangnya, hukuman itu datang dari tangan orang tua kandungnya sendiri, yang berujung pada kematian anak kecil yang malang.

Berita duka yang mengejutkan ini telah diumumkan oleh Kapolres Tangerang Selatan, AKBP Victor Inkiriwang.

Ia mengatakan pihaknya telah menetapkan kedua orang tua korban sebagai tersangka.

Ayah kandung, AAY, menjadi tersangka utama dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian, sedangkan ibu kandung, FT, juga terlibat sebagai tersangka.

“Aay (ayah korban) dan FT (ibu korban) telah kami tetapkan sebagai tersangka,” kata Victor saat diwawancara di Polres Tangsel, Serpong, Jumat (8/8/2025).

Pemicu kekerasan mematikan ini, menurut Victor, adalah hal yang sangat kecil.

Ayah itu diduga marah dan kehilangan kendali setelah mendengar anak balitanya mengucapkan kata-kata yang dianggap kasar.

Perasaan sementara itu dibayar dengan nyawa putra kandungnya sendiri.

“Karena emosi yang tidak terkendali, AAY akhirnya melakukan kekerasan fisik terhadap anak tersebut,” kata Victor.

Dalam menangani perkara ini, aparat kepolisian menerapkan kebijakan khusus terhadap ibu korban.

Meskipun memiliki status sebagai tersangka, FT tidak ditahan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan.

“Kami tidak menahan ibu korban karena yang bersangkutan masih memiliki anak berusia 1,5 tahun yang memerlukan pengasuhan langsung,” ujar Victor.

Di balik garis pembatas dan pernyataan resmi, muncul kisah menyedihkan berdasarkan keterangan dari warga sekitar.

Priyanti, salah satu tetangga, menggambarkan keluarga ini sebagai orang-orang yang sangat privasi.

Mereka hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang lain, menjalani kehidupan sehari-hari dengan rutinitas pergi bekerja di pagi hari dan kembali terlambat di malam hari.

“Tidak pernah keluar, hanya pergi kerja dan pulang. Tidak pernah berinteraksi dengan warga,” kata Priyanti.

Ia mengakui kerap mendengar suara tangisan MA dari dalam rumah.

Perasaan cemas sesekali mendorong warga untuk mengetuk pintu, tetapi jawaban dari dalam rumah selalu mampu menenangkan dan membuat mereka mundur.

“Jika anak menangis, yang paling sering dijawab, ‘tidak apa-apa, bibi, menangislah saja’,” kenang Priyanti menirukan ucapan pelaku.

Ketakutan itu akhirnya berubah menjadi rasa takut yang mendalam.

Priyanti menceritakan, ia pertama kali mengetahui berita duka tersebut melalui telepon pelaku yang meminta izin untuk membawa jenazah MA dari rumah sakit.

Warga tetap menunggu, tetapi yang tiba bukanlah mobil ambulans.

Menunggu hingga pukul satu (dini hari), tiba-tiba datang polisi,” lanjutnya.

Saat itulah semua terungkap.

Petugas kepolisian tiba dan menanyakan keberadaan AAY, hingga akhirnya mengucapkan kalimat yang membuat seluruh penduduk kaget.

“Polisi berkata, ‘Di sini ada pembunuh.’ Kami semua kaget dan langsung bertanya, siapa yang dibunuh? Ternyata anaknya sendiri,” ujar Priyanti dengan nada tidak percaya.

Peristiwa ini menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa di balik pintu rumah yang tertutup rapat, teriakan anak-anak yang tidak berdaya mungkin saja hilang dalam kesunyian dan ketidaktahuan.

Related posts