Dalam beberapa dekade terakhir, dampak perubahan iklim semakin nyata. Suhu bumi meningkat, cuaca ekstrem, kekeringan, dan tanah longsor sering terjadi. Kondisi ini memengaruhi ekosistem, perekonomian, dan kehidupan manusia secara global.
. Langkah ini dianggap penting untuk menekan laju pemanasan global dan melindungi masa depan bumi.
hingga penerapannya di Indonesia.
adalah upaya untuk menjaga keseimbangan antara jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer dan karbon yang diserap kembali oleh alam. Proses ini melibatkan penyerapan karbon, yaitu menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer dan menyimpannya di dalam penyerap karbon.
Untuk mencapai emisi nol bersih, setiap emisi gas rumah kaca harus diimbangi dengan tingkat penyerapan karbon yang setara. Penyerap karbon adalah sistem alami atau buatan yang menyerap karbon lebih banyak daripada yang dilepaskannya.
yang mencapai hampir 38 gigaton pada tahun 2021.
Kapasitas penyerap karbon alami mengalami penurunan seiring waktu akibat deforestasi, degradasi lahan, dan pencemaran laut. Hal ini menekankan perlunya memperluas area penyerap karbon, seperti reforestasi dan pelestarian lahan gambut.
juga menjelaskan, netralitas karbon sangat penting untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan emisi karbon di atmosfer.
Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change Sixth Assessment Report (IPCC AR6) IPCC AR6, suhu rata-rata global telah meningkat sekira 1,1°C dibandingkan masa pra-industri (1850-1900). Apabila tren ini berlanjut tanpa mitigasi, suhu dapat naik lebih dari 2°C pada akhir abad ini.
Peningkatan suhu ini memicu terjadinya bencana alam seperti kekeringan, banjir, dan dampak lingkungan lainnya yang berujung pada kematian, kelaparan, serta kelangsungan hidup manusia dan satwa liar.
Lantas, negara mana yang pertama kali mencapai netralitas karbon?
Menurut Climate Council, negara pertama yang mencapai tingkat karbon negatif adalah Bhutan. Tidak hanya carbon neutral, ia menjadi panutan negara yang minim menghasilkan karbon.
, perbedaan utama antara carbon neutral vs net zero terletak pada cakupan dan pendekatan pengurangan emisi.
di tempat lain atau menyerap karbon dari atmosfer, misalnya melalui penanaman pohon atau penggunaan energi terbarukan. Biasanya, karbon netral hanya mencakup emisi CO2 dan dapat terbatas pada bagian tertentu dari operasi bisnis.
mencakup pengurangan emisi secara menyeluruh di seluruh rantai pasokan perusahaan, dengan tujuan untuk mengurangi emisi karbon absolut.
mendukung upaya global untuk membatasi kenaikan suhu dunia hingga 1,5 derajat celsius, sesuai dengan kesepakatan dalam KTT Iklim Paris 2015. Net zero dianggap sebagai standar yang lebih ambisius dan menyeluruh dalam aksi iklim dibandingkan karbon netral.
lebih berfokus pada pengurangan emisi secara total, sementara karbon netral lebih mengutamakan penyeimbangan emisi yang sudah ada.
) pada 2060 atau lebih awal. Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris, yakni menjaga kenaikan suhu global di bawah 2°C
Melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia berupaya menerapkan transisi menuju masa depan rendah emisi. Dalam dokumen ini, Indonesia siap menargetkan untuk menyeimbangkan pengurangan emisi dengan kebutuhan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
menjelaskan, beberapa organisasi lingkungan dan lembaga riset, seperti Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Walhi, menilai target carbon neutral Indonesia pada 2070 terlalu lemah dan kurang ambisius.
IESR mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan untuk mencapai netral karbon lebih cepat, bahkan sebelum 2050. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai upaya, mulai dari pengurangan emisi gas rumah kaca di sektor energi, mempercepat transisi energi, menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), mengurangi deforestasi secara signifikan hingga dukungan politik yang lebih kuat dan peran aktif pemerintah daerah.
