Nyai Kamsida, Pemberontak Pembisik Geger Cilegon 1888

Nyai Kamsida, Pemberontak Pembisik Geger Cilegon 1888

BANTENMEDIA – Tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah Provinsi Banten, terutama dalam peristiwa pemberontakan atau perlawanan para petani Banten yang dikenal sebagai Geger Cilegon pada tahun 1888.

Pemberontakan Petani Banten yang dikenal dengan istilah Geger Cilegon pada tahun 1888 muncul akibat kesengsaraan rakyat karena tindakan sewenang-wenang pemerintah kolonial Belanda.

Seperti dilaporkan Kabar Banten melalui saluran YouTube Mang Dhepi Channel, berikut kisah mengenai Nyai Kamsidah, perempuan pemberani dalam gerakan Geger Cilegon tahun 1888.

Bencana alam yang terjadi secara berulang, seperti kekeringan yang berkepanjangan, wabah penyakit pada hewan ternak, serta letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, memperparah situasi ekonomi dan sosial masyarakat.

Sebaliknya, pemerintah kolonial mengenakan sistem pajak baru yang memberatkan penduduk, memicu rasa benci yang dalam.

Di tengah gelora Pemberontakan Cilegon 1888, nama Nyai Kamsidah muncul sebagai tokoh perempuan tangguh yang berperan signifikan bersama para pemimpin perlawanan lainnya.

Tokohnya merupakan contoh perempuan pribumi yang giat berjuang melawan penjajahan dan justru dianggap sebagai ancaman oleh pihak kolonial.

Nyai Kamsidah bukan hanya istri dari Haji Ishak, tokoh penting dalam peristiwa Geger Cilegon 1888, tetapi juga menjadi simbol keberanian wanita yang menentang penjajahan secara langsung.

Jika Raden Ajeng Kartini terkenal karena berjuang untuk pendidikan melalui tulisan, maka Nyai Kamsida adalah perempuan yang memicu semangat perang dengan tindakan nyata dan fisik.

Pada masa penjajahan Belanda di Banten pada tahun 1888, terjadi peristiwa penting yang dikenal dengan Geger Cilegon.

Saat pemberontakan meletus pada 8 Juli 1888, ia berada di barisan terdepan dalam peristiwa yang akhirnya menulis namanya dalam sejarah.

Peran mereka sangat penting dalam peristiwa pemberontakan Cilegon pada 9 Juli 1888.

Saat para ulama dan tokoh masyarakat sedang merancang rencana pemberontakan dengan menyembunyikannya dalam acara khitan di rumah Haji Ahia, Nyai Kamsidah bertindak sebagai perantara rahasia.

Ia mengirim utusan untuk menyampaikan pesan bahwa Ki Wasyid dan Tubagus Ismail, pemimpin pemberontakan, telah tiba di rumahnya dan ingin segera bertemu dengan para tokoh perlawanan.

Tanpa adanya informasi yang disampaikannya, proses koordinasi mungkin akan mengalami hambatan. Ia bukan hanya sebagai saksi sejarah, tetapi juga pusat penting dalam jaringan perlawanan yang kompleks.

Ketangguhannya mampu melampaui batasan-batasan konvensi gender pada zamannya dalam sebuah peristiwa yang kemudian diingat oleh masyarakat sebagai perang cengek di Seneja.

Nyai Kamsida secara langsung terlibat dalam pertarungan yang menegangkan melawan putra Elizabeth Gobles, istri dari asisten residen Belanda, Johan Hendrik Hubert Gubels ketika peristiwa geger Cilegon mulai meletus.

Saat pemberontakan terjadi, istri asisten residen Belanda Johan Hendrik Hubert Gubels kabur.

Saat Ana melarikan diri dan tanpa sengaja meminta bantuan kepada Nyai Kamsida yang ia anggap sebagai orang biasa, ia justru menghadapi bentuk perlawanan.

Terjadi pergulatan antara dua perempuan yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Bersama dengan pejuang lainnya, Nyai Kamsida menghalau mata Ana Elizabeth dengan cairan cabai yang dihancurkan.

Kejadian ini bukan hanya tentang kekerasan, melainkan merupakan lambang perlawanan masyarakat umum, khususnya perempuan, terhadap pemerintahan kolonial yang otoriter.

Catatan sejarah yang ditulis Sartono Kartodirjo juga menyimpan kisah ini. Ia menyebutkan bahwa Ana Elizabeth pernah kabur menuju Seneja guna mencari Dokar.

Namun justru menghadapi Nyai Kamsidah yang tidak hanya membantu tetapi justru menyerangnya dengan penuh perlawanan.

Saat Nyi Kamsida berteriak meminta bantuan, dua orang laki-laki muncul dan langsung menyerang istri Gubel dengan menyemprotkan cairan ke arah matanya.

Tidak ada laporan yang menggambarkan secara lengkap kejadian yang menimpa dirinya setelah peristiwa tersebut. Hanya disebutkan bahwa jenazahnya kemudian ditemukan oleh seseorang bernama Kaman.

Lokasi penemuan berada di sebelah selatan jalan menuju Serang, sekitar seperempat paal dari Cilegon. Dalam kesaksianya, Kamad menyebutkan bahwa ia melihat lima orang berdiri dekat tubuh tersebut dan salah satunya dikenal sebagai Nyai Kamsida.

Di dalam feminisme budaya karya Mary Daly, penekanan diberikan pada kekuatan simbolis dan spiritual wanita serta memperjuangkan pemulihan identitas wanita yang asli.

Perilaku Nyi Kamsidah yang berhadapan langsung dengan istri pejabat kolonial dapat dianggap sebagai wujud kekuatan simbolis dari perempuan setempat.

Tidak hanya berjuang secara fisik, tetapi juga memulihkan kehormatan budaya setempat yang pernah diinjak oleh kolonialisme.

Namun, keberanian selalu memerlukan biaya. Nyia Kamsida akhirnya ditangkap dan dihukum mati karena dituduh membunuh istri seorang pejabat kolonial.

Namun kemudian hukumannya diubah menjadi kerja paksa selama 15 tahun. Keputusan yang memicu perdebatan. Kalangan pers kolonial mengkritik pengampunan tersebut. Mereka menyebutnya sebagai wanita yang berbahaya dan lebih ganas dibanding para pemberontak laki-laki yang telah dihukum mati.

Namun dalam pandangan masyarakat, Nyi Kamsida merupakan simbol perlawanan, martabat, dan kehormatan wanita Banten.

Hingga saat ini belum diketahui secara pasti tempat di mana Nyi Kamsida menjalani kerja paksa, tempat ia menghembuskan napas terakhirnya, atau kapan ia meninggal dunia.

Namun, sejarah tidak selalu ditulis dengan tinta resmi. Dalam ingatan bersama masyarakat Cilegon, Nyai Kamsidah tetap dikenang sebagai tokoh yang membangkitkan semangat generasi, khususnya perempuan, untuk tidak takut menghadapi ketidakadilan.

Sebagai pejuang, dia bukan hasil dari istana atau menara kaca birokrasi, melainkan hasil dari perut rakyat yang tertindas.

Related posts