BantenMediaKata baru “palum” sedang menjadi topik pembicaraan netizen setelah muncul dalam unggahan video TikTok yang menggambarkan kata tersebut sebagai lawan dari “haus”.
Di dalam video yang sedang viral, disampaikan bahwa kata “palum” telah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan makna “sudah puas minum” atau “hilang rasa haus”.
Video itu mendapat perhatian pengguna media sosial dan telah ditonton oleh ribuan orang, serta dianggap menarik oleh lebih dari 50.000 akun.
Namun, para pakar bahasa mengatakan bahwa istilah “palum” belum diakui secara resmi dalam bahasa Indonesia.
Dilansir dari Kompas.com, Ridha Mashudi Wibowo, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), menyampaikan bahwa “palum” kemungkinan besar merupakan kata baru atau ciptaan yang muncul dari kreativitas pengguna media sosial.
“Kejadian ini sering muncul di era digital, yaitu munculnya kata-kata baru akibat inovasi bahasa, lelucon, atau kebutuhan ekspresi dalam komunitas online,” ujar Ridha.
Ia menyebutkan bahwa secara etimologis, tidak ditemukan asal kata “palum” dalam bahasa daerah utama Indonesia maupun bahasa asing yang memengaruhi kosakata Indonesia, seperti Sanskerta, Arab, atau Belanda.
Ridha menganggap, munculnya kata “palum” lebih menunjukkan perkembangan netizen yang berusaha mengisi kekosongan dalam bahasa Indonesia, karena belum ada satu kata yang resmi menjadi lawan dari kata “haus”.
Sejalan dengan Ridha, Guru Besar Ilmu Bahasa UGM I Dewa Putu Wijana mengungkapkan bahwa upaya menciptakan kata “palum” dapat diartikan sebagai penyesuaian pasangan kata “kenyang–lapar” dalam konteks makan, serta “haus–palum” dalam lingkup minum.
“Mungkin dimaksudkan sebagai keseimbangan antara pasangan yang kenyang dan lapar, sementara kata haus menggambarkan keinginan untuk minum tanpa memiliki keseimbangan untuk menyampaikan rasa jenuh setelah minum,” kata Putu.
Meski demikian, Putu menegaskan bahwa hingga saat ini bahasa Indonesia belum memiliki kata yang menjadi lawan dari “haus”.
Bahkan dalam bahasa Bali, konsep yang sama diungkapkan dengan kata “bedak” atau “begah” yang menggambarkan rasa lelah setelah minum.
Putu menambahkan, keberhasilan sebuah kata baru menjadi bagian dari bahasa Indonesia sangat bergantung pada penerimaan masyarakat.
Ia memberikan contoh kata-kata seperti “mantan” dan “canggih” yang berhasil menggantikan istilah asing, sementara istilah seperti “adi kodrati” atau “kesejagatan” tidak banyak diterima secara umum.
“Maka, boleh saja mengadopsi kata tersebut, namun masyarakat yang akhirnya menentukan penerimaannya,” katanya.
(*)




