Serangan Terhadap Tempat Ibadah di Gaza: Kehancuran yang Mengguncang Identitas dan Warisan Budaya
Serangan terhadap tempat-tempat ibadah di wilayah Gaza telah menjadi perhatian global, terutama setelah pasukan militer Israel menargetkan satu-satunya gereja Katolik di kota tersebut, yaitu Gereja Keluarga Kudus. Serangan ini mengakibatkan tiga korban jiwa dan sedikitnya sepuluh orang terluka, termasuk pastor paroki, Pastor Gabriel Romanelli. Di antara korban tewas adalah seorang petugas kebersihan berusia 60 tahun dan seorang wanita berusia 84 tahun yang sedang menjalani perawatan kesehatan mental di tenda Caritas di halaman gereja.
Serangan ini bukanlah kejadian terpisah, melainkan bagian dari serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pihak Israel sejak 7 Oktober 2023. Pada masa itu, militer Israel secara sistematis menargetkan dan menghancurkan berbagai situs bersejarah dan religius di seluruh Gaza, termasuk gereja-gereja kuno, masjid, museum, dan lokasi arkeologi yang memiliki akar sejarah ribuan tahun. Penghancuran ini tidak hanya merusak infrastruktur fisik, tetapi juga mengancam warisan budaya dan identitas masyarakat Palestina.
Dampak Budaya yang Mendalam
Kehancuran yang terjadi di Gaza telah meninggalkan kekosongan budaya yang sangat memengaruhi masyarakat secara material, spiritual, dan komunal. Warga Gaza menyebut kerusakan ini sebagai “kerusakan tak terukur yang tidak dapat diperbaiki”. Selama tiga bulan pertama konflik, pengeboman Israel telah menghapus elemen-elemen penting dari warisan budaya dan agama mereka, yang berdampak jangka panjang pada kehidupan sosial dan spiritual penduduk.
Laporan dari Kementerian Wakaf Palestina awal Oktober 2024 menunjukkan bahwa sejak konflik meningkat pada Oktober 2023, setidaknya 611 masjid dan tiga gereja dihancurkan, sementara 214 masjid lainnya mengalami kerusakan parsial. Situs-situs seperti Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius, Masjid Agung Omari, Hammam al-Samra, dan Biara Saint Hilarion juga turut terkena dampak serangan ini.
Situs-Situs Bersejarah yang Rusak
Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius, yang berusia hampir 900 tahun, mengalami kerusakan akibat serangan rumah sakit di dekatnya dan kemudian serangan langsung yang menewaskan sedikitnya 16 orang. Bagi komunitas Kristen Palestina, gereja ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol identitas dan keberlanjutan sejarah mereka.
Masjid Agung Omari, salah satu masjid tertua dan terbesar di Gaza, hancur menjadi reruntuhan. Awalnya merupakan gereja Bizantium, masjid ini telah menjadi tempat suci bagi umat Muslim dan Kristen selama berabad-abad. Penghancurannya menghilangkan ikatan historis dan komunal yang mendalam antara warga Palestina dengan masa lalu mereka.
Hammam al-Samra, peninggalan arsitektur Ottoman yang berusia lebih dari 1.000 tahun, juga dihancurkan. Sementara itu, Biara Saint Hilarion, yang termasuk dalam daftar sementara Warisan Dunia UNESCO, mengalami kerusakan parah.
Kerusakan pada Lembaga Budaya
Selain tempat ibadah, lembaga-lembaga budaya di Gaza juga menjadi sasaran. Gedung Arsip Pusat yang menyimpan dokumen-dokumen bersejarah sejak lebih dari satu abad lalu hancur. Museum Istana Basha, yang dibangun pada abad ke-13, serta Museum Budaya al-Qarara di Khan Younis, yang menyimpan lebih dari 5.000 artefak, juga mengalami kerusakan parah.
Pendiri Museum Budaya al-Qarara menyebut serangan ini sebagai upaya untuk menghapus masa kini dan masa depan Gaza, serta memori sejarah mereka. Penghancuran monumen-monumen keagamaan dan budaya telah menimbulkan luka psikologis dan sosial yang mendalam bagi penduduk.
Tanggapan Internasional
Organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional telah mengkritik penargetan situs-situs keagamaan yang disengaja, yang menunjukkan adanya peningkatan permusuhan agama yang dipicu oleh pemerintah sayap kanan Israel. Euro-Med Monitor memperingatkan bahwa pejabat Israel membingkai konflik ini sebagai perang agama, menggunakan simbol-simbol dan narasi suci untuk membenarkan kekerasan dan pengusiran warga Palestina.
Penghancuran situs-situs ini tidak hanya mengganggu garis keturunan budaya, tetapi juga melanggar hukum humaniter internasional. Meskipun ada bukti-bukti pelanggaran, komunitas internasional belum meminta pertanggungjawaban Israel atas serangan sistematis ini. Hal ini membuat warisan suci Gaza semakin rentan di tengah-tengah kehancuran dan kehilangan yang lebih luas.




