Angka Kekerasan terhadap Anak di Kalimantan Selatan Mengkhawatirkan
Di tengah peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli, situasi kekerasan terhadap anak di Kalimantan Selatan terus menjadi perhatian serius. Data yang dirilis melalui aplikasi Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Dalam tahun 2024, sebanyak 580 anak menjadi korban kekerasan dengan total 550 kasus yang tercatat.
Pada semester pertama tahun 2025, jumlah kasus kekerasan terhadap anak meningkat lagi. Terdapat 176 kasus yang dilaporkan, dengan jumlah korban mencapai 193 anak. Fenomena ini terjadi di 13 kabupaten/kota, dengan Banjarmasin, Hulu Sungai Selatan, dan Banjarbaru menjadi wilayah dengan kasus tertinggi. Banjarmasin mencatat 89 kasus, HSS 40 kasus, dan Banjarbaru 37 kasus.
Anak-anak masih sangat rentan menjadi korban kekerasan, khususnya eksploitasi. Mereka sering ditemukan di ruang publik seperti jalanan, pasar, atau lampu merah. Banyak dari mereka terlihat sebagai pengemis, badut jalanan, atau bahkan manusia silver. Ada juga bayi yang diajak mengemis untuk menarik simpati. Hal ini tidak hanya menunjukkan ketidakadilan, tetapi juga memperlihatkan rendahnya kesadaran masyarakat akan perlindungan anak.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Banjarmasin mencatat adanya 105 kasus kekerasan terhadap anak antara Januari hingga Juli 2025. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencatat 180 kasus selama 2024. Kepala UPTD PPA Kota Banjarmasin, Susan, menjelaskan bahwa mayoritas kasus yang terlaporkan berupa pelecehan seksual dan persetubuhan. Ia menegaskan pentingnya pencegahan dan perlindungan yang lebih kuat.
Seluruh kasus yang dilaporkan sedang dalam proses persidangan. PPA Banjarmasin memberikan pendampingan hukum dan perawatan psikologis kepada korban, karena banyak dari mereka mengalami trauma mendalam. Untuk mencegah hal ini, pihaknya mendorong pembentukan Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak (KRPPA). Dari 52 kelurahan di Banjarmasin, 29 telah diresmikan sebagai KRPPA. Tujuannya adalah mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan dan anak.
Masih banyaknya anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi menarik perhatian Ombudsman Perwakilan Kalimantan Selatan. Kepala Ombudsman Kalsel, Hadi Rahman, menegaskan bahwa fenomena ini merupakan bentuk eksploitasi anak yang harus segera dihentikan melalui kolaborasi berbagai pihak. Menurutnya, anak-anak seharusnya berada di sekolah, bukan bekerja di jalanan hingga larut malam. Ini sudah masuk dalam kategori kekerasan dan penelantaran.
Meski belum ada laporan formal yang masuk ke Ombudsman Kalsel terkait dugaan kekerasan atau eksploitasi anak, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa praktik tersebut masih berlangsung. Bahkan, beberapa orang tua datang ke kantor Ombudsman untuk berkonsultasi tentang kekerasan yang dialami anaknya. Hal ini menandakan bahwa kesadaran masyarakat tentang hak anak masih rendah.
Untuk memutus mata rantai eksploitasi anak, Hadi menilai perlu adanya upaya konkret dan berkelanjutan dari berbagai pihak. Contohnya, Dinas Pendidikan perlu mendata anak-anak yang putus sekolah, Dinas Sosial harus hadir memberikan layanan sosial dan pemenuhan hak dasar anak, sementara Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak wajib menjalankan fungsi perlindungan dan pembinaan secara menyeluruh.
Penanganan tidak bisa hanya dilakukan oleh Satpol PP saja, lalu selesai. Harus ada alur koordinasi yang jelas dan kesinambungan dalam pembinaan, termasuk melibatkan keluarga. Edukasi bagi orang tua juga sangat penting, karena tak sedikit anak yang bekerja di jalan karena didorong kebutuhan ekonomi keluarga.
Menjelang peringatan Hari Anak Nasional 2025, Hadi mengingatkan bahwa perlindungan anak tidak boleh berhenti pada slogan. Pemerintah daerah harus benar-benar hadir menangani permasalahan anak jalanan secara serius.



