BANTENMEDIA
,
Jakarta
– Deputi Ketua DPR Sufmi
Dasco
Ahmad memberikan tanggapan terhadap ide untuk menghilangkan dokumen bernama surat keterangan catatan kepolisian (
SKCK
) sebagai syarat pekerjaan. Dasco menyebutkan bahwa terdapat beberapa aspek yang perlu ditelaah dengan cermat sebelum merumuskan keputusan mengenai skema tersebut.
“Betul, hal tersebut memiliki sejumlah aspek yang perlu dipertimbangkan, dengan pendukung maupun penentangnya,” ujar Dasco ketika bertemu dengan para jurnalis di Jatinegara, Jakarta Timur, pada hari Senin, 31 Maret 2025. Dia datang ke rumah Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan alias Zulhas yang sedang menggelar acara.
open house
atau mendapatkan gelar griya di awal Hari Lebaran.
Anggota Komisi III DPR tersebut menyampaikan bahwa mereka akan mengevaluasi putusan terkait SKCK dengan mempertimbangkan manfaatnya. “Kelak kita akan periksa mana yang memberi manfaat lebih,” katanya.
Mantan Menteri HAM Natalius Pigai pernah mengirim surat ke Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo guna mendiskusikan penarikan penghapusan Surat Ketetapan Catatan Kejahatan (SKCK) sebagai syarat dalam proses perekrutan tenaga kerja. Menurut Pigai, aturan terkait dengan SKCK ini dapat memberi dampak negatif bagi mereka yang memiliki riwayat tahanan dan berusaha memasuki dunia pekerjaan.
“Surat yang baru saja dikirim adalah kepada Mabes Polri. Saya menginginkan respon positif dari Kapolri,” ungkap Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian HAM Nicholay Aprilindo dalam wawancara di kantor pribadinya pada hari Jumat, tanggal 21 Maret 2025.
Alasan utama dari proposal untuk mencabut SKCK menurut Nicholay, adalah adanya masalah para pelaku kriminal berulang (residivis) yang masih berkeliaran di penjara maupun tempat tidur tahanan.
Kejadian tersebut terkuak ketika Nicholay menjalani serangkaian kunjungan ke beberapa lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di wilayah Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, serta Daerah Khusus Jakarta. Menurut pernyataan Nicholay, banyak narapidana berpengalaman yang lebih memilih tetap tinggal di dalam penjara daripada keluar. Mereka beralasan bahwa setelah masa hukumannya habis, tantangan utama yang dihadapi adalah sulitnya mencari pekerjaan sebagai bekas narapidana.
“Setiap kali mereka mencoba mendapatkan pekerjaan, mereka harus menghadapi syarat adanya catatan kepolisian (SKCK) dari perusahaan atau instansi tempat mereka berharap untuk bergabung,” jelas Nicholay.
Sebaliknya, Kepala Biro Penerangan Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko menyebut bahwa institusinya tidak memiliki wewenang untuk mencabut aturan tentang pembuatan SKCK. Menurut Truno, peraturan tersebut adalah bagian dari layanan publik yang diwajibkan oleh hukum bagi Polri.
SKCK merupakan bagian dari tugas dalam memberikan pelayanan kepada publik,” ujar Truno saat berada di Bareskrim Polri pada hari Senin, 24 Maret 2025. “Setiap warga negara yang ingin mengurus SKCK akan mendapatkan layanan dari kami.
Selagi itu pula, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman setuju dengan ide menghapus persyaratan SKCK seperti yang disarankan oleh Pigai. Baginya, SKCK kurang memberi dampak penting. “Saya sependapati hal tersebut. Jika seseorang sudah jelas bersalah dan divonis, publik tentu akan mengetahui tanpa harus melihat SKCK,” ujar Habiburokhman saat berada di komplek parlemen Senayan pada hari Kamis, tanggal 27 Maret 2025.
Politikus dari Partai Gerindra tersebut menganggap bahwa SKCK kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurutnya hal itu tidak begitu penting dan bertanya-tanya kenapa kepolisian repot-repot untuk menerbitkan SKCK. “Menurut ingatanku, pengaruhnya tak banyak. Mengapa harus ribet membuat SKCK?” ungkapnya.
Habiburokhman pun berpendapat bahwa SKCK tidak dapat memastikan seseorang bebas dari masalah. Oleh karena itu, dia setuju dengan ide yang disampaikan oleh Pigai.
Sultan Abdurrahman
,
Nandito Putra
, dan
Hammam Izzuddin
menyumbang untuk penulisan artikel ini.



