Dua Tulisan dan Malam Terakhir yang Mengubah Kroya

Dua Tulisan dan Malam Terakhir yang Mengubah Kroya

Sebagai seorang mahasiswa, tugas-tugas akademis kerapkali menjadi bagian rutinitas harian saya. Namun, semester kedua ini tak sekadar tentang penyelesaian tugasan, tetapi juga menyaksikan penderitaan kehidupan yang pedih. Pada malam tersebut, selain mengerjakan esai untuk mata kuliah jurnalisme, saya juga mendampingi sang bapa pada detik-detik terahirnya.

Meliput Kejadian di Kebumen

Pada hari tersebut, saya tetap ada di Jogja, mengikuti jadwal perkuliahan sehari-hari. Di siang hari, saya pergi menuju Kebumen, desa asalku. Begitu sampai di sana, hujan lebat pun terjadi bersama dengan angin yang kuat. Saya menyaksikan sendiri satu pohon besar roboh dan menimpa kendaraan.

Sebagai seorang mahasiswa jurusan jurnalisme, saya secara alami melihat insiden tersebut sebagai peluang untuk membuat laporan. Saya mendekati area itu, memerhatikan situasinya, serta berusaha melakukan wawancara dengan beberapa saksi di lokasi kejadian. Setelah berhasil mengumpulkan data yang diperlukan, saya kemudian menyusun artikel bertajuk “Mobil Tertimpa Pohon di Kebumen karena Badai Hujan Berintensitas Tinggi Bersamaan dengan Tiupan Angin Keras”.

Saat asyik menulis dan meliput, saya mendapat informasi kalau ayah, yang tadinya akan kembali ke Kebumen, akhirnya membatalkan perjalanannya. Di jalan dari rumah sakit di Purwokerto, dia mulai mual sampai harus istirahat sebentar di Kroya, tepatnya di rumah bibi. Sebab situasinya semakin parah dan tak tertangani oleh rumah sakit tersebut, maka pilihan terbaik adalah merawatnya di rumah saja.

Malam di Kroya: Menjadi Anak Yang Tepat

Setelah mendapatkan berita tersebut, saya langsung menuju Kroya pada malam hari. Begitu tiba di tempat tujuan, saya melihat bahwa keadaan bapak sudah semakin memburuk. Perasaan khawatir menghantui, namun saya mencoba untuk tetap tenang dan hanya duduk termenung bersama dia.

Di saat larut malam yang sunyi, saya berusaha untuk tetap produktif dengan melanjutkan penulisan dua esai lainnya: “Perubahan Iklim serta Keanekaragaman Hayati: Usaha Perlindungan Menghadapi Ancaman Lingkungan” dan “Politika Proteksi Negara Thailand: Apakah Indonesia Sebaiknya Menerapkannya?”. Saya menggunakan tulisan sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dari ketakutan dan keresahan hati. Namun pada tiap istirahat mengetik, saya selalu memandang kearah sang bapa, memverifikasi bahwa beliau masih ada disitu.

Sekarang ini, tiap kali saya berencana pulang atau mengunjungi bapak di rumah sakit, beliau selalu berkata, “Jangan repot-repot, konsentrasikan dirimu pada studi. Belum waktunya istirahat juga bukan? Saya baik-baik saja disini, cukup doakan saya saja.” Namun saat perasaaan hatiku menjadi tak menentu, saya pun memilih untuk pulang.

Saya duduk di sebelahnya untuk waktu yang lama.

Bapak membuka mata dengan pelan lalu memandangiku. “Gazal ya?” katanya dengan nada rendah namun tetap hangat.

Saya mengiyakan dengan menggelengkan kepala dan membalas guratan tangan yang diberikan. “Benar, Bapak. Mobil Gazel sudah sampai,” kata saya.

Pada malam tersebut, saya berkeinginan melaksanakan apapun yang mampu saya lakukan demi dia. Bila sebelumnya tak dapat senantiasa mendampinginya dikarenakan kewajiban bertahan di Jogja, minimal pada malam hari itu saya hadir baginya.

Saat bapa memohon untuk mendapatkan air minum, saya langsung mengambilkannya. Saya membantu beliau duduk secara perlahan sementara dia minum air dengan berhati-hati. Ketika dia merasa ingin kencing, saya selalu sabar dalam menyertainya.

Pada saat larut malam, suaranya terdengar pelan, “Zel, ayah ingin ke kamar mandi tapi popoknya sudah habis zell…”

Tidak sempat berfikir lebih lama, saya langsung menuju Alfamart paling dekat. Meskipun udara malam sangat sejuk, hal itu tak menjadi masalah bagi saya. Saya hanya menginginkan agar bapak bisa merasakan ketenangan pada malam hari ini.

Ketika aku pulang, bapaku memandangiiku sesaat. “Terima kasih, ya.”

Pada akhir malam tersebut, saya cuma duduk di sisinya, menegaskan bahwa dia tak sendiri. Tak ada hal lain yang lebih berarti daripadanya.

Pagi yang Tak Terduga

Setelah seharian suntuk begadang dan menuangkan ide-ide ke dalam tulisan, akhirnya fajar menyingsing. Namun, terbitnya matahari tak memberikan kedamaian kepada saya. Malahan, di saat ituluayah pergi meninggalkan kami.

Saya melihatnya. Masih terasa sangat tidak percaya. Kemarin malam, saya masih bercakap-cakap dengan dia. Saya tetap memenuhi segala keperluannya, berusaha agar merasa lebih nyaman. Namun saat ini, dia telah meninggalkan tempat tinggalnya.

Airmataku mengalir, namun usaha ku untuk tetap teguh. Di dalam hatiku kucibir, “Pak, paling tidak aku masih bisa mendampingimu pada malam terakhir ini.”

Lebih dari Sekadar Tulisan

Saat ini, setelah membaca ulang ketiga tulisan yang saya hasilkan waktu itu, saya mengerti bahwa mereka lebih dari sekedar laporan jurnalisme biasa. Sebaliknya, mereka menjadi bukti atas akhir malam terakhir saya berada bersama bapak saya.

Sampai saat ini, saya senantiasa mengira bahwa pekerjaan sekolah tinggi merupakan prioritas utama. Ayah dan ibuku juga sering kali mendorongku agar berkonsentrasi serta yakin bahwa segalanyaakan oke-oke saja. Akan tetapi pada satu malam tertentu, saya menyadari bahwa sesungguhnya apa yang sangat bernilai ialah momen-momen yang dihabiskan bersama dengan keluarga dan teman dekat, sebab tak ada satupun dari kita mengetahui apakah pertemuan tersebut bisa jadi yang terakhir.

Untuk oranglain, mungkin tulisan-tulisannya hanya artikel seadanya. Namun untuk saya pribadi, mereka menjadi sebuah petualangan berharga yang takkan terlupakan.

Tenang disana yah…

Gazel berkata dengan kasih sayang kepada ayahnya, “Aku mencintaimu…”

Kebumen, 01 April 2025

Related posts